Pelanggaran kode etik jurnalistik
1. Makam
Mbah Priok Kasus bentrok saptol PP dengan warga memperebutkan makam Mbah Priok
belum usai. Banyak hal bisa dilihat dari kasus ini, di antaranya soal bagaimana
televisi menyiarkan kasus ini. Saat terjadi bentrok, banyak televisi menyiarkan
secara langsung. Adegan berdarah itupun bisa disaksikan dengan telanjang mata
tanpa melalui proses editing. Penyiaran langsung gambar korban bentrokan di
Koja, Tanjung Priok,
merupakan
pelanggaran Kode Etik Jurnalistik Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat
berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Gambar korban berdarah-darah
dikategorikan sebagai berita sadis, dan tidak semua konsumen media dapat
menerimanya. Pihak keluarga korban yang kebetulan sedang menonton televise pun
bisa menerima dampak psikologis atau traumatis jika melihat kerabatnya
mengalami luka yang mengenaskan.
2. Pemberitaan
kasus Antasari yang melibatkan wanita bernama Rani oleh TV One Menurut
Penasehat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Tribuana Said, Selasa, saat
diskusi Bedah Kasus Kode Etik Jurnalistik di Gedung Dewan Pers, indikasi
pelanggaran tersebut dapat dilihat dari pemberitaan yang kurang berimbang
karena hanya menggunakan pernyataan dari pihak kepolisian saja. Selain itu,
Tribuana menambahkan, narasumber yang dipakai hanya narasumber sekunder saja,
misalnya keluarga Rani dan tetangga Rani, bukan dari narasumber utama. Pasal
yang dilanggar oleh divisi berita TV One dalam menyiarkan pemberitaan Antasari
– Rani adalah;
Pasal
3: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang,
tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas
praduga tak bersalah. Dalam kasus di atas, wartawan TV One hanya menggunakan
pernyataan dari pihak kepolisian, tidak menggunakan data dari narasumber utama
yaitu Antasari atau Rani.
3. Kasus
wawancara fiktif terjadi di Surabaya. Seorang wartawan harian di Surabaya
menurunkan berita hasil wawancaranya dengan seorang isteri Nurdin M Top. Untuk
meyakinkan kepada publiknya, sang wartawan sampai mendeskripsikan bagaimana
wawancara itu terjadi. Karena berasal dari sumber yang katanya terpercaya,
hasil wawancara tersebut tentu saja menjadi perhatian masyarakat luas. Tetapi,
belakangan terungkap, ternyata wawancara tersebut palsu alias fiktif karena
tidak pernah dilakukan sama sekali. Isteri Nurdin M Top kala itu sedang sakit
tenggorokkan sehingga untuk berbicara saja sulit, apalagi memberikan keterangan
panjang lebar seperti laporan wawancara tersebut. Wartawan dari harian ini
memang tidak pernah bersua dengan isteri orang yang disangka teroris itu dan
tidak pernah ada wawancara sama sekali.
Wartawan dalam kasus di atas melanggar
Kode Etik Jurnalistik Pasal 2 dan Pasal 4.
->>
Pasal 2 bernunyi: Wartawan Indonesia
menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Pasal
4 berbunyi: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan
cabul. Wartawan tersebut tidak menggunakan cara yang professional dalam
menjalankan tugasnya. Ia tidak menyebarkan berita yang faktual dan tidak
menggunakan narasumber yang jelas, bahkan narasumber yang digunakan dalah
narasumber fiktif. Wawancara dan berita yang dipublikasikannya merupakan
kebohongan. Tentu ini merugikan konsumen media. Pembaca mengkonsumsi media
untuk memperoleh kebenaran, bukan kebohongan. Kredibilitas harian tempat
wartawan tersebut bekerja juga sudah tentu menjadi diragukan
Komentar
Posting Komentar